Selasa, 27 Mei 2014

PUJAKESUMA ITU UNIK DAN FLEKSIBEL

           
Pujakesuma adalah organisasi kemasyarakatan yang didirikan di Medan pada tanggal 10 Juli 1980, atas gagasan sejumlah tokoh masyarakat Jawa antara lain H. Mas Soekardi, H. Maswardi, Raden Suyono, HR, Moediono, H. Sudjono Giatmo, HW Kasmo, dan beberapa nama lainnya.

Tujuannya tidak lain untuk mensejahterakan masyarakat Jawa. Namun yang terpenting adalah sebagai wadah berkumpulnya masyarakat Jawa. Selain itu tentunya diharapkan dapat membantu mengatasi kesulitan warganya dan memberikan bantuan hukum, serta menggali, membina dan mengembangkan kesenian, kebudayaan serta olahraga, bekerjasama dengan organisasi social budaya lainnya membina persatuan .
Salah satu fungsinya menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan tidak mengenal perbedaan suku, agama dan golongan.

BUKAN MILIK ORANG JAWA

Pujakesuma bukan milik orang Jawa saja, tetapi terbuka untuk semua keturunan Jawa baik yang kelahiran Sumatera dan bukan. Pujakesuma terbuka untuk suku lainnya sesuai AD/ ART Bab V pasal 11 ayat a Anggota Pujakesuma adalah WNI keturunan Jawa yang dilahirkan dan berkedudukan di Sumatera atau suku lainnya yang dapat diterima oleh forum musyawarah Pujaksuma.

Image bahwa paguyuban ini hanya milik putera Jawa kelahiran Sumatera saja tentunya harus dihilangkan dari benak masyarakat mengingat pujakesuma itu sendiri berfungsi sebagai perekat antar suku. Dari mulai berdirinya, hingga kini, banyak suku lain alias non Jawa menjadi pengurus inti setingkat sekretaris baik di DPP maupun pengurus kabupaten/ kota dan kecamatan.
            
Hal ini merupakan pertanda rasa nasionalisme semakin kuat ditengah-tengah aneka ragam suku penduduk di Sumatera. Pujakesuma tentunya hadir untuk memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bernegara dalam bingkai NKRI.
Sejak dibentuknya pada tanggal 10 Juli 1980, Pujakseuma sudah memiliki 28 DPD Kab/ Kota dari 33 kabupaten/ kota di Sumut. Dengan kata lain 5 kab/kota yang belum dibentuk kepengurusannya.


HAPUS CITRA JAKON DAN JADEL 


Ide menghimpun masyarakat suku Jawa di Sumatera lahir dari gagasan alm H. Mas Soekardi dan beberapa 
nama lainnya pada tahun 1980. Kemudian dilakukan Musyawarah Daerah Pertama, atau tepatnya 10 Juli 1982 (Dikutip dari berbagai sumber). Sejak itulah masyarakat Jawa yang ada di daerah dihimpun dalam
wadah paguyuban Keluarga Besar Putra Jawa Kelahiran Sumatera disingkat menjadi PKB Pujakesuma.

Sebelumnya memang sudah ada Badan Koordinasi Kesenian Jawa (BKKJ), namun BKKJ itu sendiri sudah menyatu dengan Pujakesuma. Satuhal yang menyemangati para sesepuh membentuk dan membina paguyuban masyarakat Jawa karena sangat prihatin melihat keadaan orang Jawa ditengah-tengah masyarakat lainnya bila ditinjau dari segi ekonomi dan pendidikan.

Padahal berdasarkan data yang dihimpun saat itu lebih 30% penduduk Sumatera Utara adalah suku Jawa. Mereka cukup potensial dalam ikut serta melaksanakan program program pemerintah.
Pembentukan ormas dan paguyuban dalam Negara Repbulik Indonesia dijamin Undangundang dan menurut kenyataannya, kerukunan, kekeluargaan dan kegotong royongan adalah satu ciri adat istiadat bagi suku Jawa khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.
Oleh karena itu, sudah pada tempatnyalah putra Jawa yang dilahirkan dan berkedudukan di Sumatera membentuk paguyuban.

Paguyuban Keluarga Besar Pujakesuma yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah merupakan suatu wadah berperan meningkatkan harkat dan martabat kehidupan masyarakat serta memupuk jiwa persatuan dan kesatuan dalam bernegara, berbangsa dan bertanah air.

Pada awalnya orang Jawa datang ke Sumut dibawa oleh Kolonial Belanda. Sebagian kena We’rek dan dipekerjakan di perkebunan perkebunan, khususnya di tanah Deli, sebagai mandor dan buruh kebon. Maka pada saat itu ada istilah Jakon (Jawa Kontrak) dan Jadel (Jawa Deli).
         
Seiring berjalannya waktu dan perubahan zaman mulai dari era kolonialisme, kemerdekaan, orde lama dan orde baru, hingga zaman reformasi saat ini, maka istilah yang sedemikian itu tidak pantas lagi diucapkan karena orang Jawa di Sumatera, khususnya di Sumut sudah turun temurun, bahkan konon sudah mencapai 6 generasi dan tidak semuanya tinggal di perkebunan sebagai karyawan. Sebagian besar sudah banyak menetap di daerah perkotaan sebagai masyarakat urban dan telah terjadi pembauran dengan suku lain. Tidak sedikit pula yang berprofesi sebagai pengusaha/ pedagang. Birokrat di pemerintahan, dosen di perguruan tinggi, polisi, tentara, hakim, jaksa, guru dan lainnya.

PUJAKESUMA ITU UNIK


Paguyuban ini sekarang sudah berusia 34 tahun, didirikan para tokoh Jawa yang peduli dan punya visi besar buat warganya. Bila kita mau meluangkan waktu berfikir sejenak, akan melihat sesuatu yang unik di paguyuban ini. Kita tahu bahwa banyak paguyuban paguyuban Jawa di Sumut yang terdaftar di Kesbangpolinmas ada 30 an lebih.?

Disaat hajatan besar seperti menjelang Pilkada biasayanya kegiatan di beberapa paguyuban kelihatan lebih signifikan. Ada pula warga Pujakesuma yang memisahkan diri dan ada pula yang mencatut mengatasnamakan Paguyuban yang satu ini untuk kepentingan dan maksud tertentu.

Siapapun bisa mengira-ngira mengapa fenomena seperti ini selalu terjadi. Padahal Paguyuban bukanlah partai politk.

Kembali ke pokok pembahasan tadi, soal mengapa paguyuban ini dianggap ‘unik’.Faktanya, paguyuban ini walau dibolakbalik dengan kalimat maupun kata, keadaannya tetap bertambah tidak pernah berkurang, misalnya Pujakesuma bukan paguyuban X, tapi paguyuban X hampir dipastikan Pujakesuma. Mengapa demikian?. Karena hampir dapat dipastikan bahwa pendiri/ pengurus Paguyuban X dan warganya itu kebanyakan putra Jawa yang lahir dan berkedudukan di Sumatera. Jadi alangkah anehnya mereka itu tidak mengakui Pujakesuma sedang lahirnya di Sumatera. Mau tidak mau, suka atau tidak suka mereka tetap Pujakesuma walaupun tidak aktif di organisasi ini.

Dengan demikian tentulah Paguyuban ini kedepan menurut fitrahnya akan menjadi besar. Dengan kata lain, “Patah Tumbuh Hilang Berganti” dan “Hilang Satu Tumbuh Seribu”.

Jelaslah disini bila Pujakesuma dikelola dan dimanage dengan baik oleh pengurusnya dapat dipastikan Pujakesuma akan berkembang, sekaligus mengisyaratkan bahwa pepatah lama “Apalah artinya sebuah nama” tidaklah semuanya benar.


Bagi Pujaksesuma nama adalah keniscayaan. Nama juga Branding. Branding itu sendiri penting saat ini.

PUJAKESUMA ITU FLEKSIBEL

Bagi pengurusnya yang telah diberikan amanah, harus memiliki sifat-sifat Siddik, Amanah, Tabligh dan Fathonah. Dalam bertindak mestinya terlebih dahulu mementingkan organisasi, memegang prinsip transfaransi, akuntabilitas. Bila bersifat materi, tentu harus dicatat, dibukukan dan disimpan dengan baik dan dipertanggung jawabkan penggunaannya, bukan malah di’saku’ kan.


Dalam bekerjapun ada falsafah “Sepi ing Pamreh Rame ing Gawe,” Insya Allah, dengan memegang teguh prinsip prinsip itu, akan berjaya mengemban tugas kedepan. Satu hal yang harus dicermati bahwa paguyuban yang satu ini terlalu menarik (seksi) untuk diulas menjelang Pilkada maupun Pilpres.

Oleh karena itu diingatkan kepada warganya agar tidak menggunakannya sebagai alat dukung mendukung untuk kepentingan sesaat karena itu adalah pelanggaran AD/ART, khususnya Bab III pasal 8 yang menjelaskan bahwa Pujakesuma yang lahir dan berkembang atas dasar perasaan solidaritas yang kuat, berakar pada kebatinan hidup berdasarkan kodrat alam, bersifat non politik. Ingat.. perlu digaris bawahi …!
           
Namun Pujakesuma mempersilahkan warganya menyalurkan aspirasi politiknya melalui forum/ wadah yang sifatnya sementara dengan tidak memakai segala macam atributnya. Inilah yang dimaksudkan “Felksibel”.

Bila ada oknum mengatasnamakan Pujaksuma untuk dukung mendukung tentunya sangat tidak dibenarkan karena hal ini bertentangan dengan AD/ ART Pujaksuma itu sendiri yang seharusnya ditaati dan dipatuhi oleh warganya. (Suratno Gurdi,Bendum Pujakesuma )